Kenapa alam jadi kronis, hancur berantakan? Manusia mengeksploitasi alam dengan rakus dan tamak, bak harta warisan nenek moyang. Ulah, aktivitas, keserakahan, dan kebodohan manusia membuat alam nirwana menjadi neraka. Manusia telah memborbardir bumi di barat, timur, utara, dan di selatan. Sama sekali tak berbudi terhadap alam.
Selain itu, ada pula satu jenis gas buatan tangan manusia yang didaulat membuat nyaman ummat, namun setelah diproduksi besar-besaran dan menguntungkan negara industri, ternyata membuat petaka. Gas chlorofluorocarbons (CFC) namanya, menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2, penyebab rusaknya lapisan ozon.
Lalu para pemimpin dunia dan para ahli kaget, karena Dr. H. J. Zwally, seorang ahli iklim NASA membuat prediksi baru yang sangat mencengangkan: HAMPIR SEMUA ES DI KUTUB UTARA AKAN LENYAP PADA AKHIR MUSIM PANAS 2012. Artinya dunia bakal kiamat. Nah lho.
Prediksi yang amat buram
Bumi dipijak rasa beban, langit dijunjung rasa runtuh alias dunia seperti kiamat. Bagaimana tidak. Pasalnya, mencairnya es saat ini berjalan jauh lebih cepat dari model-model prediksi yang pernah diciptakan oleh para ilmuwan sebelumnya. Beberapa prediksi awal yang pernah dibuat memperkirakan bahwa seluruh es di kutub akan lenyap pada tahun 2040 sampai 2100. Tetapi data es tahunan yang tercatat hingga tahun 2007 membuat mereka berpikir ulang mengenai model prediksi yang telah dibuat sebelumnya. Para ilmuwan mengakui bahwa ada faktor-faktor kunci yang tidak mereka ikutkan dalam model prediksi yang ada. Dengan menggunakan data es terbaru, serta model prediksi yang lebih akurat, seorang Zwally, telah menggemparkan dunia.
Biang Keladi: CFC dan gas rumah kaca
Atmosfer bumi terdiri dari bermacam-macam gas dengan fungsi yang berbeda-beda. Kelompok gas yang menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat dikenal dengan istilah “gas rumah kaca”. Disebut gas rumah kaca karena sistem kerja gas-gas tersebut di atmosfer bumi mirip dengan cara kerja rumah kaca yang berfungsi menahan panas matahari di dalamnya, agar suhu di dalam rumah kaca tetap hangat. Dengan begitu tanaman di dalamnya pun akan dapat tumbuh dengan baik, karena memiliki panas matahari yang cukup.
Planet kita pada dasarnya membutuhkan gas-gas tesebut untuk menjaga kehidupan di dalamnya. Tanpa keberadaan gas rumah kaca, bumi akan menjadi terlalu dingin untuk ditinggali karena tidak adanya lapisan yang mengisolasi panas matahari. Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah keadaan ini, karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer.
Defakto: meningkatnya level paras laut dan dampaknya di Indonesia
Mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan berdampak langsung pada naiknya level permukaan air laut (grafik di samping menunjukkan hasil pengukuran level permukaan air laut selama beberapa tahun terakhir). Para ahli memperkirakan apabila seluruh Greenland mencair. Level permukaan laut akan naik sampai dengan 7 meter! Cukup untuk menenggelamkan seluruh pantai, pelabuhan, dan dataran rendah di seluruh dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Kita perlu waspada, karena berdasarkan data Kementerian Pemukiman dan Wilayah dari 516 kota diselurah Indonesia 216 diantaranya merupakan kota tepian air (water-front city) yang berada ditepi laut, sungai dan danau, bahkan banyak kota-kota di Indonesia yang berakar dari aktivitas perdagangannya di atas air seperti kota-kota di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Studi kasus di pulau Jawa. Sedikitnya ada 63 kabupaten atau kota berada di sepanjang pantai utara dan selatan Pulau Jawa. Jumlah penduduk yang tinggal di sepanjang pesisir Jawa tidak kurang dari 74,9 juta jiwa, atau sekitar 65 persen dari total penduduk Pulau Jawa. Mereka kini terancam banjir rob, erosi, dan intrusi air laut yang bisa muncul sewaktu-waktu. Padatnya penduduk itu tidak lepas dari tren pertumbuhan penduduk pesisir Pulau Jawa di era tahun 1990-an hingga 2000-an, terjadi peningkatan sekitar 2,2 persen, atau lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk rata-rata nasional. Contoh yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah. Pemerintah Kota Semarang membuat daerah tangkapan air di tengah kota yang ternyata hanya bertahan beberapa bulan. Sedangkan di Jakarta terjadi reklamasi dan pengurukan besar-besaran di kawasan resapan air, yang mengakibatkan banjir rob. Pasang air laut yang menyebabkan banjir rob tingginya bisa mencapai 2-4 meter. Jika peristiwa tersebut dibarengi dengan angin besar (badai), maka potensi terjadi banjir akan lebih besar. Apalagi jika terjadi hujan lebat yang berlangsung lama di daerah hulu.
Studi kasus di Jakarta. Pendapat ahli perubahan iklim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Armi Susandi tampaknya bisa membuktikan. Dia meramalkan pada 2050 nanti, 24 persen wilayah Jakarta akan terendam air laut secara permanen. Ramalan Doktor lulusan University of Hamburg itu merupakan buah penelitannya yang dilakukan sejak 2005 di Jakarta, khusus meneliti pengaruh perubahan iklim terhadap ibukota. Dia melakukan penelitian mengenai pengaruh perubahan iklim di Jakarta dengan menghitung laju kenaikan temperatur di Jakarta dan kenaikan muka air laut. Dosen yang merampungkan tesisnya mengenai perubahan iklim di Max Planck Institute of Meteorology itu, membuat satu model digital yang dapat menyajikan gambar tiga dimensi dari pengaruh penurunan muka air tanah dengan laju kenaikan muka air laut. Dengan model buatannya itu,
Dr. Armi meramalkan banjir permanen yang akan mengurangi luas wilayah geografis Jakarta dalam jangka panjang. Armi merancang modelnya itu dengan memasukkan faktor penurunan muka air tanah. Penurunan muka air tanah yang terjadi di Jakarta sudah mencapai angka 0,85 centimeter per tahun. Faktor penyebabnya, penggunaan air tanah oleh warga Jakarta dan maraknya pembangunan gedung pencakar langit di ibukota.
Bandara Soekarno-Hatta akan hilang. Penurunan tanah di Jakarta sudah terasa akibatnya. Menurutnya, sekitar 40 persen wilayah Jakarta sekarang ini lebih rendah dari permukaan laut. “Kebetulan kawasan itu berada di bagian utara Jakarta,” katanya. Wilayah itu, tambahnya, kini terancam oleh banjir menahun akibat pasang surut air laut. Sementara kenaikan muka air laut dihitungnya dari mengolah data pencatatan periode ulang pasang surut air laut selama 17,8 tahun. Tren kenaikan muka air laut di wilayah Jakarta mencapai 0,57 centimeter per tahun. Hasilnya mencengangkan. Ternyata laju kenaikan penurunan tanah di Jakarta lebih tinggi dibandingkan dengan naiknya muka air laut.
Peneliti Indonesia yang menjadi salah satu pembicara kunci dalam pertemuan internasional mengenai Global Climate Change di Bali itu, memperlihatkan hasil estimasi banjir permanen yang akan terjadi pada 2050 nanti di wilayah Jakarta. Air laut secara permanen akan masuk ke dalam wilayah Jakarta sampai sejauh 8 kilometer. Untuk daerah yang rendah nggak bisa diselamatkan lagi. Banjir permanen itu akan merendam wilayah di antaranya Tanjung Priok, Bandara Soekarno-Hatta, Pademangan, Koja, Cilincing, hingga masuk ke Penjaringan. Dr. Armi juga memprediksi 24 persen wilayah di utara Jakarta, (banjir permanen) masuk sampai merendam ke jalan tol di Penjaringan, Tanjung Priok tidak berfungsi lagi, Bandara Soekarno-Hatta pun akan mulai hilang tahun 2035. Itu musibah yang terjadi, andai semua ramalan dari hasil penelitian Armi benar.
Kerugian lainnya yang didera Indonesia, a.l. Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah: (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia.
Prakiraan Dr. Zwally, ahli iklim NASA membuat schock terapi. Alam terkembang (tak) jadi guru. Kita harus kembali ke khitah, belajar dari alam dan apa yang terjadi didalamnya. Alam sudah krusial, ayoo belajar hidup harmoni dengan bencana! Living harmony with disaster!
sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/13/216-kota-tepian-air-di-indonesia-dalam-bahaya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar